Kebahagiaan itu... kadang orang mencarinya kemana-mana...padahal dia begitu dekat.. hanya berjarak 1 mili..

Jumat, 04 Maret 2011

Awalan Novel Hehe

http://eemoticons.net

Satu
Guntur menyambar minimal sepuluh menit sekali. Langit masih terang walaupun sedikit agak mendung. Namun suara guntur yang makin sering, menandakan tinggal menunggu waktu awan-awan di atas sana mulai lelah membawa air lalu menumpahkannya ke bumi.
Di kamar di bangunan hijau dua lantai ini, aku hanya memandang langit, menopang dagu di jendela menunggu hujan segera turun. Sepi sekali. Tak ada satupun suara yang terdengar di kos-kosan ini, kecuali guntur yang rasanya jauh di atas sana. Waktu yang ditunjukkan jam kecil di meja belajar masih jam satu lewat sebelas menit. Sepertinya semua anak kos sedang di kampus. Kuliah, mengerjakan tugas di perpustakaan, ikut kegiatan kemahasiswaan, atau sekedar duduk-duduk di lorong kampus. Kecuali tentu saja aku, yang masih diam di kamar tak beranjak dari jendela. Lagi-lagi membolos kuliah hanya untuk berdiam diri di kamar, tidak melakukan apa-apa.
Apa katanya jika melihatku seperti ini ya? Yang pasti rasa kagumnya akan langsung menguap tak bersisa. Tapi tak masalah buatku. Terlalu sering orang melihat orang lain terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Sebenarnya aku bukannya tidak melakukan apa-apa. Aku hanya sedang menunggu. Menunggu awan di atas sana menjatuhkan airnya. Menunggu otakku bekerja untuk membawa kembali ingatan-ingatan masa lalu. Menunggu sesuatu yang bisa membuatku beranjak dari sini. Sesuatu yang cukup kuat untuk menyeretku.


Aku pernah sakit... sakit yang tak terperikan... sakit yang tak tertahankan... sakit yang membuat hati merasa sangat ngilu....
Dan aku juga pernah merasa bahagia... ketika kau dengan tangan terbuka mau menerimaku. Saat itu, aku merasa sangat bahagia. Karena bagiku, kaulah orang pertama yang menerima aku apa adanya, tak menuntutku untuk melakukan apa dan menjadi apa. Namun itu dulu. Ketika kita masih memakai seragam putih abu-abu. Ketika kita baru belajar mendefinisikan cinta. Ketika kita belum mengenal rasa dendam....
***

“Kapan pengumuman nilai UANnya?”
“Besok Senin depan, yah”
“Jangan kecewakan ayah lagi! Nilai UAN SD mu dulu, kamu cuma dapat nomor tiga sekabupaten. Kalo hasil UAN SMP mu ini tidak bisa nomor satu, kamu sekolah saja di SMA sini. Tidak usah ke Jogja.”
Aku hanya mengangguk dan terdiam.
Jika menyangkut peringkat, ayah selalu keras. Tak peduli nilaiku sebaik apa, jika aku bukan si juara satu, maka aku sama saja si nol. Bagiku pun, juara satu adalah segalanya. Lebih dari pertemanan, persahabatan, maupun percintaan masa remaja ini. Di otakku hanya ada ambisi untuk mendapat nomor satu. Nomor satu adalah pembuktian bahwa aku ada, bagi ayah, ibu, dan kakak-kakakku.
Mbak Dina, kakak perempuanku selalu diagung-agungkan ibu sebagai anak gadisnya yang paling cantik, paling rajin, dan paling pintar. Sedangkan kakak lelakiku, Mas Tino selalu dibanggakan ayah sebagai penerus usaha keluarga yang sudah berhasil ayah kelola. Lalu aku? Aku hanya aku. Yang hanya bisa menjadi nomor satu untuk memperoleh tempatnya. Entah sebagai apa dan dimana.
“Bagaimana bisa kamu tidak dapat nomor satu lagi! Kamu ngapain saja selama ini? Sudah ayah bilang untuk belajar. Belajar. Belajar. Kamu itu tidak sepintar kakak-kakakmu! Jangan iri kalo kakakmu itu nonton tv atau main, tapi kamu itu belajar!”
Aku baru pulang dari SMPku untuk mengambil nilai UAN yang dibagikan hari ini, bersama Kang Agung, pekerja ayahku. Nilai UAN yang harusnya diambil oleh orang tua atau wali murid, terpaksa diambil Kang Agung karena ayah beralasan sibuk mengawasi pekerja, sedangkan ibu pergi ke Luwes menemani Mbak Dina belanja keperluan pertunangannya.
Dan ternyata kali ini aku hanya mendapat peringkat dua sekabupaten. Sebenarnya jumlah nilaiku hanya beda tipis dengan yang peringkat satu. Nilai matematikaku yang lebih kecil 0,03 dibandingkan si peringkat satulah yang membuatku jadi nomor dua.
Kalimat kamu tidak sepintar kakak-kakakmu, sebenarnya sudah sering ku dengar. Tapi rasa sakit yang menusuk dada tetap saja tak bisa dihindarkan. Selalu seperti ini. Bahwa aku hanya si ‘belajar’. Ketika kakak-kakakku bermain, nonton tv, tamasya, aku hanya di kamar dengan buku-buku tebal kumpulan soal. Bahkan untuk ikut tamasya SD dan SMP pun, aku tak diijinkan.
Aku hanya bisa belajar. Dan dengan belajar itulah aku akan jadi si nomor satu. Dan nomor satu itu akan memberiku tempat.
“Buat apa selama ini kamu ayah sekolahin. Ayah ikutkan kursus macam-macam. Ayah belikan buku-buku bermutu. Tapi, untuk dapat peringkat satu saja kamu tidak mampu. Bisa-bisanya kamu bodoh kayak gitu.”
Maka kemarahan ayah akan berlangsung lama, sangat lama. Hingga aku bisa membuktikan aku bisa mendapat tempat itu. Si nomor satu.
Karena kejadian itulah aku tidak bisa masuk SMA di Jogja. Aku tetap terkurung di rumah ini dengan rutinitas belajar layaknya robot, tanpa satu ruang pun untuk bernafas bebas. Aku harus melanjutkan SMA di desa ini. SMA yang tidak lengkap sarana dan prasarananya, bahkan untuk sekedar buku pegangan pelajar tidak punya, apalagi laboratorium. Bagaimana mungkin di SMA yang seperti ini aku bisa mendapatkan tempat, menjadi si nomor satu.
Tapi, aku tak akan bertemu dengan mu di tempat lain. Karena SMA terpencil inilah, aku dapat bertemu dengan mu. Dengan orang yang menyadarkan betapa kejamnya aku.
***

Akhirnya awan di atas sana memuntahkan kandungannya juga. Tetesan-tetesan air mulai mendendangkan bunyi karena bertabrakan dengan genteng. Bau tanah yang tersiram hujan pun mulai membius hidung untuk bernafas dalam-dalam. Ah... ini bau yang paling ku sukai.
Hujan. Selalu membawa aroma yang lain.
Drr...drr...drr....
Getaran kurasakan di dekat kaki. Dengan malas kujauhkan kepalaku dari jendela untuk melihat sumber getaran. Sebuah sms.
Asw.Dek lg dmn?Kosong g?Mb mw kTW lg ni dek
Tawangmangu? Observasi lagi?
Dengan malas, kupencet tombol-tombol di HP. Sambil mencoba berfikir mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk menolak.
W3.Ng..kosong se mb,cm...kn lg hujn.Jaln ksana licin.Adhwa g brani mb. Sent.
Tak sampai satu menit, balasan kembali datang.
kTWnya g skrg kok dek.Kl skrg,mb mw mnt dtemenin bwt koordnsi kTWnya.Bs g?
Ok deh.Adhwa jmpt 10mnt lg dkos mb.
Makasih sayank :)
Tawangmangu.... Tempat yang ku benci. Penuh dengan mu. Penuh dengan kekejamanku.
***

Hari pertama masuk SMA. Tak ada yang spesial. Hanya upacara bendera, masuk kelas, perkenalan dengan wali kelas, pembentukan pengurus kelas. Lalu banyaknya bisikan dan gumaman para siswa yang tak pernah luput menyebutkan satu kata kunci. Adhwa. Lalu mereka akan sambung-menyambung dengan kata Oh, Ya to?, Bener, Kok bisa, Aneh, dan berubah menjadi kalimat-kalimat panjang yang malas untuk didengarkan. Setiap hari pertama masuk sekolah, hari pertama kenaikan kelas, hal semacam ini sudah menjadi rutinitas bagiku.
“Untuk ketua kelasnya, Adhwa yang jadi ya”, kalimat Pak Pri, wali kelasku, sedikit mengurangi bisikan dan gumaman anak-anak.
“Maaf pak. Saya tidak tertarik menjadi ketua kelas”, jawabku tegas. Dan bisa kurasakan tatapan-tatapan ingin tahu, dan heran dari segala sudut.
“Kenapa tidak tertarik? Dicoba dulu saja satu semester. Jadi ketua kelas cukup menyenangkan kok.”
“Sayangnya saya tidak punya waktu untuk bersenang-senang, pak. Dan saya tidak mau disemester pertama saya masuk SMA, nilai saya buruk.”
“Hm..baiklah. bapak juga tidak bisa memaksa. Yang lain ada yang tertarik untuk menjadi ketua kelas?” Tanyanya dengan suara lebih keras dari sebelumnya untuk menarik perhatian para murid yang masih terus menatapku.
“Saya bersedia pak”, sebuah suara yang keras menghentikan tatapan mereka padaku.
“Ya, Hanif. Yang lain ada lagi yang mau jadi ketua kelass Atau kita langsung sepakat Hanif yang jadi ketua kelasnya?”
“Sepakat pak” koor semuanya, kecuali aku yang diam tak peduli. Bahkan untuk melihat wajah si ketua kelas itupun rasanya tak perlu. Kemudian dilanjutkan pemilihan bendahara, sekretaris dan seksi-seksi yang lain. Yang sama sekali tak menarik minatku. Aku terus membaca buku matematika kelas 1 SMA yang ada di depanku. Kekalahanku di matematika membuatku semakin terobsesi pada matematika. Hingga akhirnya waktu istirahat tiba, aku masih sibuk mencoba memasukkan angka dalam rumus yang terpampang di buku itu.
“Ng... Kok sudah mulai belajar? Seminggu ini kita masih acara orientasi dan perkenalan lho”, sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh untuk melihat siapa si pengganggu ini.
“Siapa?” kataku datar sambil menyipitkan mata.
“Eh, aku Tifa teman sebangkumu”, jawabnya bingung. Mungkin heran karena aku tidak sadar dengan keberadaannya yang tepat di sampingku.
“Oh”
Lalu aku kembali meneruskan membaca bukuku. Tak ada gunanya berkenalan, apalagi berteman. Pertemanan membuat kita harus menyisihkan sedikit waktu untuk ngobrol, cerita dan lainnya. Sedangkan aku tidak mau menghabiskan waktuku, sedikit pun, hanya untuk itu. Dan yang pasti, pertemanan tidak membuatmu menjadi nomor satu.
“Ng... Kamu pintar banget ya. Juara dua sekabupaten dan nilaimu yang tertinggi waktu masuk sini. Namamu saja sudah terkenal se-SMA lho. Semua murid, guru, karyawan, bahkan kepala sekolah juga sudah hafal namamu. Hebat banget ya.”
Orang ini termasuk salah satu tipe orang yang ku benci. Biasanya ketika ada yang bertanya lalu aku jawab dengan datar dan tanpa ekspresi lalu ku diamkan, mereka akan menyingkir karena merasa tidak nyaman. Dan aku selalu berhasil membuat mereka menyingkir dan menjauhiku. Tapi sepertinya tidak begitu untuk orang di sampingku ini. Siapa namanya tadi? Lupa. Lagipula tidak penting.
“Adhwa, kamu tau gak, selain kamu, guru-guru juga sudah hafal nama satu siswa cowok. Hanif itu, yang tadi ngajuin diri jadi ketua kelas. Dia bulan lalu ke Semarang ikut lomba melukis dan dapat juara satu lho. Sudah dapat beasiswa di SMA favorit di Semarang, tapi dia malah milih SMA desa kayak gini. Kamu juga. Bukannya banyak sekolah yang jauh lebih bagus yang menginginkan kamu sekolah di sekolah mereka? Kok kamu juga mau sekolah di sini. Kamu dan Hanif aneh, lucu. Tapi dua orang terkenal ada di kelas yang sama pasti seru.” Ceritanya panjang tak peduli aku sedang mengabaikannya.
“Aku jadi pengen lihat lukisannya Hanif. Dia lukis apa ya? Pemandangan? Manusia? Atau jangan-jangan lukisan abstrak. Hehe. Yah, tapi aku juga gak terlalu ngerti lukisan sich. Lukisan yang bagus itu seperti apa, aku gak paham. Tapi kalo lukisan pemandangan, mungkin indah ya. Adhwa, kalo kamu suka lukisan gak?”
Beberapa detik dia diam, menunggu jawabanku. Aku tidak menoleh untuk melihat wajahnya. Aku langsung berdiri dan berjalan keluar kelas, menuju perpustakaan. Walaupun disebut perpustakaan, tapi jumlah buku yang dimilikinya bahkan tidak sampai lima ratus eksemplar.
Bruk.
Buku di tanganku langsung terlepas. Bodohnya aku jalan sambil menunduk baca buku. Ku ambil bukuku yang terjatuh, berdiri lagi, mengucapkan maaf, lalu bergegas pergi. Sampai pada langkah yang ketiga, ada yang menghadang jalanku.
“Menyingkir. Kau menghalangiku.”
“Kalo minta maaf lihat orang yang kamu mintai maaf. Jangan langsung nyelonong gitu.”
“Siapa”, kataku datar
“Tuh! Kamu gak tau orang yang sudah kamu tabrak kan. Makanya lihat orang kalo ngomong. Kalo orang yang yang kamu tabrak luka dan berdarah gimana? Memangnya kamu tau kalo gak kamu lihat orangnya.”
Bebas dari satu tipe orang yang ku benci, ketemu tipe yang lain.
Aku melihat matanya, mengucapkan maaf lagi, lalu melangkah kembali menghindari tubuhnya. Tapi dia mengikutiku dan menghalangi lagi.
“Kenapa.”
“Kamu gak bisa ngucapin lebih dari satu kata ya? Maaf. Siapa. Kenapa.”
Abaikan Adhwa, abaikan. Gak ada gunanya diladenin.
“Nah, sekarang kamu bahkan gak bisa ngucapin satu katapun.” Dia masih mengejar lalu berjalan di sampingku. “Jangan-jangan yang luka karena tabrakan tadi justru kamu ya. Ayo periksa ke UKS. Aku jadi merasa bersalah dan bertanggung jawab ni.”
Abaikan…..
“Tuh kan masih diam. Tau gak kalo penyakit berbahaya itu dimulai dari gak bisa ngomong. Gak bisa keluar kata-kata dari mulutnya. Contohnya tuh, ng…..kelaparan akut sampai gak kuat ngomong, stroke, koma. Semuanya itu bahaya lho. Kamu gak ngomong ini bisa jadi salah satu dari tiga tadi, kelaparan akut, stroke, atau bisa aja koma. Karena kamu masih kuat jalan, berarti bukan kelaparan akut. Terus badanmu juga masih gerak dan kamu sadar, berarti bukan koma. Artinya kamu kena stroke ya, wah berarti sarafmu ini yang salah. Waduh, bahaya ini, saraf apa ini yang kira-kira putus. Apa lebih baik kita langsung ke rumah sakit kota saja. Ayo, kamu pilih yang mana.”
Sarafmu itu yang sudah putus.
Tenang Adhwa. Abaikan saja. Gak penting. Gak penting. Abaikan.
Bagus, belokan situ ada toilet cewek. Gak mungkin dia masih ngikutin sampai toilet kan.
Dia masih bicara tiada henti di sampingku. Lalu ketika berbelok, dia diam sebentar. Entah terkejut, entah apa. Tepat saat dia mau buka mulut lagi, aku sudah mauk toilet cewek dan menutup pintunya keras-keras.
Hari pertama dengan dua tipe orang yang ku benci.
***

3 komentar: