Kebahagiaan itu... kadang orang mencarinya kemana-mana...padahal dia begitu dekat.. hanya berjarak 1 mili..

Sabtu, 18 Juli 2009

CerPeN gAk PenTing

KETIKA ANGIN BICARA

Aku masih termenung di atap gedung. Entah apa yang kupikirkan, rasanya aku begitu suka memandang ke bawah sambil agak membungkukkan badan. Aku bisa merasakan angin yang berhembus disekitarku. Aku semakin ingin membungkukkan badan lebih ke bawah lagi, agar semakin dapat kurasakan hembusan angin itu.

“Hei!!! Apa yang mau kau lakukan?” Tiba – tiba suara berat seorang lelaki mengagetkanku.


“Memangnya aku melakukan apa?” tanyaku heran sekaligus marah, karena hampir saja aku jatuh.

“Kamu bukannya mau bunuh diri ya?”

“Siapa juga yang mau bunuh diri?! Asal!!!” marahku, ”Makanya jangan suka sok tahu dan ikut campur urusan orang.”

Dia menatapku sekejap lalu pergi dengan tak mengucapkan sepatah katapun. Dasar orang aneh pikirku. Keinginanku untuk lebih merasakan hembusan angin sirna sudah. Aku tak lagi tertarik melihat tanah yang ada di bawah. Ku layangkan pandanganku ke atas, melihat awan yang putih diantara birunya langit. Entah sampai kapan aku akan tahan berlama – lama di atap seperti ini.

***

“Nif, kamu sudah belajar untuk ujian besok?” tanya Sawitri padaku.

“Mangnya perlu ya belajar?” jawabku santai.

“Nif, ujiannya tinggal besok. Dan bahannya buanyak buanget!”

“Ya udah, persiapan ujian kan tidak harus materi atau bahan ujian. ”Entah siapa yang memulai, tapi teman – temanku langsung mengelilingiku.

“Nifa, resepmu apa? Soalnya aku juga malas belajar nih. Lihat bahan yang seabrek aja, udah membuat kepala puyeng,” kata Aziz dari belakangku. Mungkin karena aku selalu dapat nilai tinggi dan jadi kesayangan dosen, teman – teman selalu tanya bagaimana cara aku belajar.

“Gampang. Kalian cukup istirahat, tidur dan makan. Dan jangan lupa mempersiapkan mental.”

“Iya ya, jadi waktu ujian kita tidak gugup dan bisa mengerjakan soal – soal dengan baik,” sambung Sawitri.

“Salah. Persiapan mental itu buat kita santai dan enjoy,” sanggahku, ”Jadi ketika kalian gak bisa mengerjakan, kalian bisa tetap senyum dan tabah. Terus ketika melihat nilai yang ancur, kalian juga gak kaget atau stres. Kayak di iklan tuh, enjoy aja!”

“Sialan kamu, Nif.” Langsung deh mereka ketawa. Aku paling suka melihat orang tertawa. Mereka tertawa bersamaku, bukan menertawakanku. Entah apakah hatiku ikut senang atau tidak, yang penting aku bisa tertawa.

“Nif, kamu kenal cowok yang jadi ketua SKI gak?” tanya Sawitri.

“Gak, mangnya kenapa? Aku kan bukan anggota SKI, ngapain juga peduli.”

“Coba kamu ikut SKI, jadi kamu bisa ngasih info ke aku soal ketuanya. Ketuanya katanya cakep lho?”

“Ya udah, kamu masuk aja jadi anggota SKI. Gampangkan. Cari tau sendiri, jadi gak ngrepotin orang.”

“Pengennya juga gitu. Tapi aku kan bukan muslim, mana bisa aku masuk SKI.”

“Ya udah, kamu pindah agama. Ngucap syahadat, terus masuk SKI deh.”

“Kamu tuh, ya udah…ya udah…. Kayak gak punya beban aja.” Aku tersenyum.

***

Pagi yang cerah. Tak kusangka akan secerah ini. Sampai – sampai ada burung yang berterbangan di langit. Entah kapan terakhir aku melihat burung terbang di depan mataku. Mereka bisa menikmati hembusan angin diantara sayap – sayap mereka. Aku berjalan menuju ke tepi jalan untuk menunggu bus. Semoga tak cepat datang, aku ingin lebih lama memandang burung – burung itu. Tapi akhirnya busnya datang juga.

Bus yang penuh sesak. Dan semua penumpangnya adalah anak muda, sepertinya mahasiswa. Begitu berisik, karena semua orang bicara dengan topik yang tak bisa kumengerti apa menariknya. Disini aku tak bisa merasakan angin. Karena disini anginnya begitu menipu, penuh kebohongan dan penuh polesan parfum – parfum yang menyengat indera penciumanku.

***

Aku berlari dengan terengah – engah menuju ke kelas. Sebenarnya sih masih lama sebelum bel masuk berbunyi. Tapi karena aku terburu – buru, terpaksa lari. Karena ada hal yang harus aku beritahukan kepada Sawitri, yang pasti cerita yang akan membuatnya tertawa. Tapi karena terlalu terburu – buru, alhasil aku justru menabrak orang di koridor kampus.

“ Maaf…maaf,” kataku.

“Alhamdulillah, saya gak apa – apa kok.” Aku menoleh. Yah, ketemu orang aneh ini deh. Aku nabrak dia lagi, batinku.

“Ya udah kalo gak apa – apa. Maaf, aku buru – buru.”

“Tunggu!” Aku yang sudah siap – siap ngacir, terpaksa berhenti deh.

“Maaf, nanti sehabis kuliah, bisa datang ke mushola tidak?” tanyanya.

“Ada apa?”

“Ada diskusi panel dengan tema ancaman umat islam di era sekarang.”

“Kenapa aku musti ikut?”

“Anti sangat diharapkan kedatangannya untuk ikut berkontribusi dalam acara ini. Apalagi anti sudah pernah menjadi juara dalam debat nasional tahun lalu. Jadi pendapat anti sangat kami harapkan.”

Kenapa musti mengungkit – ungkit acara debat yang gak jelas itu. Debat yang hanya mengandalkan pandainya mulut ini bersilat lidah dan gak peduli akibatnya. Hanya ada emosi yang tertahan saja. Aku memang benci debat. Kalo gak dipaksa dosen, aku juga gak akan mau ikut lomba debat itu.

“Bagaimana anti?” katanya membuyarkan pikiranku.

“Insya Allah,” jawabku pendek lalu berjalan meninggalkannya. Yah, gara – gara tadi jadi lupa rencanaku deh.

“Ada apa Nif?”

“Eh Tri, kebetulan. Ada yang mau aku omongin.”

“Ada apa? Kok kayaknya serius banget.”

“Iyalah. Tau gak, aku tadi berantem sama Yuliana,” kataku pada Sawitri.

“Mangnya ada masalah apa kamu sama dia? Kok sampai berantem. Biasanya tak terpisahkan kalo mau ke kantin, sampai aku ditinggal.”

“Iya tuh si Yuliana. Padahal aku sudah berbaik hati mau menolong dia dengan mengorbankan diri sendiri lho!”

“Kamu mengorbankan diri sendiri? Menolong apa sih?”

“Kamu taukan kalo Yuliana itu suka banget pedes. Nah aku bela – belain menghabiskan baksonya yang super pedes itu dengan resiko sakit perut, eh dianya malah marahin aku habis – habisan. Padahal aku dah baik banget sama dia kan. Ternyata air susu dibalas dengan air tuba,” jawabku sok polos.

“Huu…dasar. Susu rasa tuba tuh,” katanya sambil tertawa.

“Walau rasa tuba kan masih tetep aja namanya susu, ya kan?”

“Eh Nif, nanti pulang kuliah ikut aku ke mal ya?”

“Gak!” jawabku cepat dan tegas.

“Kenapa sih, kamu selalu gak mau aku ajak ke mal? Anak muda butuh jalan – jalan Nif. Gak melulu belajar.”

“Aku juga gak melulu belajar kok. Dan aku juga sudah sering jalan – jalan. Setiap hari malah.”

“Jalan – jalan kemana?”

“Ya jalan – jalan. Dari jalan raya tuh, menuju ke kampus. Terus ke kelas. Belum lagi kalo aku mau ke kantin, ke perpustakaan, atau ke mushola. Ditambah lagi kalo disuruh dosen bawa ini itu ke ruang dosen, atau disuruh maju ke depan ngerjain soal. Iya kan?”

“Iiih…dasar kamu ini. Capek tau ngomong sama kamu.”

***

Akhirnya aku datang juga ke mushola. Cuma ada beberapa orang saja yang datang. Cewek atau untuk anak – anak SKI yang lebih suka menggunakan kata akhwat ada enam orang, dan cowok atau ikhwan ada tujuh orang. Jadi keseluruhannya hanya berjumlah tiga belas orang. Yah lumayanlah, paling tidak ada yang datang, batinku. Semua akhwat yang hadir, aku mengenalnya dan mereka mengenalku. Jadi sebelum acara mulai kami masih bisa mengobrol sebentar.

Walaupun aku bukan anggota SKI, setidaknya aku seorang muslimah tulen. Aku juga paham hijab, menjaga pandangan, dan aturan islam lainnya. Makanya aku dengan tulus ikhlas sudah mengenakan pakaian wajibku ini sejak empat tahun yang lalu. Cuma memang aku tidak tertarik ikut SKI.

Setelah dibuka oleh MC yang sekaligus sebagai moderator diskusi dengan basmalah dan tilawah Al qur’an, akhirnya diskusi dimulai juga. Seperti yang dikatakan oleh orang aneh yang ku tabrak tadi pagi, diskusi ini mengangkat tema ancaman umat islam di era sekarang.

Banyak yang berkomentar bahwa ancaman umat islam adalah Amerika Serikat dan Israel. Ada yang berpendapat bahwa kristenisasi adalah ancaman yang terbesar. Globalisasi juga ancaman. Tentu saja dengan berbagai macam argumen yang dikemukakan. Dan aku? Aku hanya tersenyum mendengarkan berbagai pendapat mereka. Terserahlah mereka mau berpendapat apa, yang penting aku sudah datang dan bahkan masih bersedia mendengarkan. Aku punya dua telinga dan satu mulut, jadi lebih baik aku mengoptimalkan fungsi telingaku yang dua ini kan.

“Afwan, apakah ukhti Nifa punya pendapat dan argumen sendiri?” tanya suara dari balik korden pembatas.

“Ah iya,” jawabku kelabakan. Kayaknya suara si orang aneh. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Bismillahirrohmanirrohim. Menurut saya, ancaman dari luar seperti yang telah disampaikan oleh antum sekalian memang benar adanya. Ancaman seperti Amerika Serikat, Israel atau kristenisasi misalnya, yang semakin memojokkan umat islam. Yang dengan berbagai macam cara dan kesempatan selalu mencari celah sebesar lidi sekalipun.

Tapi ada suatu kalimat bahwa kelemahan, ketakutan dan ancaman terbesar adalah dari diri kita sendiri. Jika kita sudah bisa mengatasi ancaman dari diri kita, maka ancaman sebesar apapun dari luar akan mudah kita kalahkan dan taklukkan.

Sesuai dengan kalimat itu, saya rasa ketakutan, kelemahan dan ancaman umat islam adalah dari umat islam sendiri. Ketakutan tidak bisa makan, tidak memperoleh pekerjaan, tidak bisa memperoleh pendidikan, yang akhirnya umat islam mudah terjerat proses Kristenisasi. Kelemahan dari diri umat islam karena iming – iming mode, tren, kasih sayang atau cinta yang akhirnya membuat orang tidak peduli lagi pada aturan agama yang dianutnya.

Ancaman dari umat islam yang kadang terlalu peduli dengan perbedaan pendapat yang ada, yang bisa membuat perpecahan. Misalnya, maaf, ada seorang muslimah mengenakan jilbab besar atau bercadar, dianggap aliran sesat atau teroris. Tidak tanggung – tanggung, yang mengatakan hal itu adalah sesama umat islam sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi pada umat islam sekarang? Apakah hal itu terjadi ketika zaman Rasulullah? Sebenarnya, maaf ini menurut saya, kekurangan kita adalah ukhuwah yang kuat antar sesama umat islam. Jika ukhuwah itu telah kuat dan mendarah daging disetiap umat islam, tidak akan ada yang takut tak bisa makan karena rasa berbagi yang sangat besar antar umat islam. Tak ada yang takut tak mendapat pekerjaan dan pendidikan, karena ukhuwah islamiyah membuat pengusaha – pengusaha dan pendidik – pendidik islam akan selalu datang membantu saudaranya.

Tak ada yang takut ketinggalan mode atau tren karena umat islam telah memiliki mode dan tren yang langsung diatur oleh Allah SWT. semisal busana muslimah yaitu jilbab. Karena ukhuwah, tak akan ada yang takut tak memiliki cinta dan kasih sayang, karena rasa cinta kasih pada saudara lebih besar dari rasa cinta pada diri sendiri. Seandainya rasa ukhuwah itu telah mendarah daging disetiap umat islam, tidak peduli, maaf, yang abangan atau yang fanatik. Dengan ukhuwah yang kuatlah, umat islam dapat berjaya seperti zaman Rasulullah.

Ada sebuah kisah saat sepasukan kaum muslimin keluar untuk berperang. Antara pasukan kaum muslimin dengan musuh dibatasi sungai. Kedua pasukan saling berhadapan. Kemudian pasukan kaum muslimin menyeberangi sungai. Tiba – tiba di tengah sungai ada seorang prajurit yang kehilangan Qa’b atau kantung air, jatuh ke sungai. Serentak semua prajurit sibuk mencarinya, tak memedulikan maut yang mengintai mereka. Melihat hal itu, komandan musuh berkata “Jika karena Qa’b saja mereka seperti itu, bagaiman jika kita membunuh salah satu di antara mereka? Sudah, berdamai saja seperti apa yang mereka inginkan.”

Begitulah menurut pendapat saya. Saya rasa cukup, maaf jika ucapan saya ada yang menyinggung atau menyakitkan hati. Terima kasih, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”

Suasana hening, entah apa yang mereka pikirkan. Apakah omonganku salah atau terlalu jauh. Memang sih aku terlalu banyak omong. Tapi, ah peduli amat. Tadi aku kan disuruh berpendapat, ya udah aku berpendapat aja kan?

“Syukron jazakumullah, ukhti,” kata suara berat itu. Belum selesai bicaranya, HPku berbunyi. Ah, dari Sawitri.

“Sebentar ya, ada telepon,” kataku pada Lina, ketua bidang Nisa. Dia mengangguk, lalu aku keluar sebentar untuk menmerima telepon. Entah apa yang dikatakan oleh si orang aneh itu.

“Ada apa, Tri?”

“Nif, hiks…hiks…” Suara diseberang telepon sepertinya sedang menangis. Ada apa ya.

“Ada apa? Kamu nangis? Kamu dimana sekarang?”

“Aku…aku masih di kampus. Aku di kelas. Hiks..hiks…”

“Iya, aku kesana sekarang. Kamu jangan pergi kemana – mana ya?” aku kembali masuk ke dalam mushola, lalu ijin pada Lina untuk pergi duluan.

“Maaf ya, gak bisa ikut sampai selesai.”

“Tidak apa – apa, terima kasih sudah datang ya.”

***

Aku berlari terburu – buru, sampai hampir saja aku tersandung. Pikiranku sudah aneh – aneh. Apa yang sebenarnya terjadi? Tadi katanya Sawitri mau pergi ke mal. Aku langsung masuk kelas dan mendapati Sawitri sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja sambil menangis sesenggukkan.

“Sawitri, ada apa?” tanyaku cemas. Dia mendongak.

“Hiks…hiks…hiks, Nif..aku…aku..”

“Ada apa? Ayo cerita, kalo gak cerita mana aku tau masalahmu?”

“Nif, hiks…aku diputus Alex tanpa alasan yang jelas. Padahal aku sudah nurutin semua kemauannya. Katanya anak – anak, dia sudah selingkuh sama cewek lain waktu masih jadi pacarku. Hiks…hiks…dia jahat banget. Hidupku rasanya hancur, Nif. Aku pengen mati saja.” Entah kenapa aku yang biasanya paling pandai menahan emosi, kali ini betul – betul ingin meledak.

“Jadi kamu nangis buat cowok gak berguna kayak dia?”

“Jangan bilang dia gak berguna! Walaupun dia udah mutusin aku, tapi aku masih sayang ma dia.”

“Apa! Kamu masih berani bilang kamu masih sayang sama dia? Kamu memang cewek bodoh! Memangnya apa yang kamu dapatkan selama pacaran sama dia? Hanya kerugian! Kebodohan!”

“Kamu jahat Nifa! Hiks…hiks…”

“Kamu bilang aku jahat? Hei, punya otak tu buat mikir! Yang jahat itu siapa? Aku atau Alex tersayangmu itu? Kamu gak tau gimana aku buru – buru ke tempatmu karena takut sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan ternyata, sampai disini kamu nangis dan mau mati hanya karena cowok bodoh itu? Sana kalo mau mati, sana mati aja!’

“Ukhti!” teriak seseorang dari belakang, sepontan aku menoleh.”Anti tidak pantas berkata seperti itu!”

“Oh, orang sok tau dan suka ikut campur?! Atau aku harus panggil akhi?”

“Anti yang tadi menjelaskan mengenai ukhuwah, sekarang justru menghancurkan ukhuwah itu? Bahkan lain agamapun, kita masih harus berteman, ukh!”

“Memangnya apa yang kamu tau tentang aku, ha! Kamu terkesan hanya karena sebuah ucapan yang mungkin bagi orang yang mengatakannya itu sama sekali tidak penting?”

“Saya sangat kecewa dengan anti.”

“Terserah! Aku juga gak peduli kamu mau kagum kek! Kecewa kek! Gak penting!” Kutinggalkan mereka. Memangnya siapa yang mengenal aku? Mereka semua hanya mengenal Nifa, tapi tak ada yang mengenal aku.

***

Aku terdiam di atap gedung. Bahkan kali ini ketika ku rentangkan tanganku, aku tidak bisa merasakan hembusan angin. Aku mendekat ke tepi atap. Ku ingat kembali kejadian kemaren, ketika aku bertengkar dengan Sawitri dan si aneh. Pengen mati? Itu yang diucapkan Sawitri. Kenapa mati selalu menjadi pilihan orang ketika dalam masalah? Apakah ketika mati, maka semua permasalahan pasti selesai?

Aku mencoba merentangkan kedua tanganku lagi, mencoba merasakan hembusan angin. Lalu aku melangkahkan satu kakiku ke tempat yang sudah tidak ada pijakannya? Mencoba merasakan udara. Karena hembusan angin sudah tidak aku dapatkan.

“Ukhti, apa yang anti lakukan?” Dia menarik tanganku. Aku terkejut. Diakan ikhwan?

“Afwan jiddan, saya lancang. Jika saya tidak menarik anti, anti akan terjatuh,” katanya sambil menunduk. Aku hanya bisa diam dan terduduk.

“Kamu pikir, aku akan bunuh diri lagi?” tanyaku sambil tersenyum getir. Entah kenapa, dia tidak pergi – pergi juga. Mungkin takut kalo aku bakal terjun dari atap gedung. Entah berapa lama kami terdiam. Tanpa memandang, tanpa bicara. Hanya diam. Aku sadar ini bukan hal yang baik. Sekejap aku melihatnya.

“Bukankah kalo seperti ini, kita sedang berkholwat?” kataku sambil tetap tersenyum getir. ”Bukankah kita bukan mahrom? Kamu gak takut akan terjadi fitnah?” Dia hanya terdiam dan menunduk.

“Tenang saja aku tidak akan bunuh diri. Aku hanya ingin merasakan angin dan udara. Dulu aku sangat benci angin dan udara. Karena bagiku, jika kakiku berpijak di tanah, aku merasakan bahwa aku hidup. Tapi sekarang bagiku, angin, udara dan tanah membuatku merasa bahwa aku hidup. Karena semua dapat kurasakan, hembusan angin, aliran udara dan pijakan tanah itu.

Aku hanya teringat ketika Sawitri bilang ingin mati. Ketika aku berada di tepi atap, ada pertanyaan di kepalaku. Apakah orang yang terjun dari tempat tinggi merasakan sakit? Atau karena berlangsung dalam sekejap, maka tidak akan terasa sakit?

Aku. Seandainya aku tidak ada, dunia inipun akan tetap berputar. Kehidupan orang – orang akan tetap berjalan. Jika berpikir seperti itu, rasanya aku sangat kesepian. Yah, orang yang suram ya? Setan memang punya banyak cara menggoda manusia. Sudah ah, aku mau sholat.”

Aku berdiri, dan beranjak meninggalkannya yang masih terdiam. Pasti dia pikir aku orang aneh yang gila, atau orang gila yang aneh? Ah, terserah!

***

“Maaf ya, Nif. Kemaren aku bilang kamu jahat. Aku memang bodoh karena pengen mati hanya gara – gara laki – laki bodoh itu.” Rengek Sawitri di kamarku.

“Iya. Aku juga minta maaf karena terlalu emosi. Tapi untung kamu sadar.” kataku. Sayang, kamu belum sadar – sadar juga untuk masuk islam, batinku.

“Eh, kemaren itu kamu kok cepet banget sampai ke tempatku?”

“Ya iyalah, aku waktu itu masih di kampus. Di mushola, soalnya ada acara diskusi begitu.”

“Pantes aja kamu bareng sama si ketua SKI. Tapi katanya gak kenal? Kok bisa bareng?”

“Siapa si ketua SKI?”

“Kemaren, cowok yang berantem ma kamu.”

“Ha! Si aneh itu ketua SKI?” kataku kaget.

“Kok si aneh sih? Cakep kayak gitu.”

“Terus kemaren kamu gimana? Diantar dia?”

“Ya gaklah. Dia minta tolong Lina buat ngantar aku.”

“Oh,” jawabku pendek. Tiba – tiba HPku berbunyi.

“Assalamu’alaikum. Oh ibu, ya. Besok? Insya Allah bisa. Iya, baik bu. Iya. Wa’alaikumsalam.”

“Ada apa, Nif?”

“Besok aku disuruh pulang.”

“Hati – hati ya? Salam buat keluargamu. Maaf lho, aku gak bisa ngantar.”

“Huu… siapa juga yang mau kamu antarin.”

***

Sampai di rumah aku kaget karena ibu baru cerita kalo ada yang mau melamarku. Kenapa gak bilang di telepon sih? Tau gitu, aku kan gak bakal pulang. Kata ibu, yang mau melamar datang nanti sore. Rasanya cepat banget, karena akhirnya waktunya datang juga. Sebuah mobil sedan hitam mengkilap berhenti di depan rumahku. Gak mungkin kan, dia yang mau datang melamarku? Jujur ya, keluargaku itu sederhana. Sangat sederhana bahkan, jadi apa mungkin orang kaya mau jadiin aku istri? Yah walaupun begitu, aku lumayan deg – degan juga sih.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Silakan masuk,” suara ayah mempersilahkan tamu masuk.

Lalu mereka bercakap – cakap. Sepertinya Cuma dua orang, jadi orang yang mau melamar itu sendirian? Berani juga. Jangan – jangan sudah tua lagi. Tapi, samar – samar aku seperti kenal suaranya.

“Nif, minumannya dikeluarkan. Tamunya menunggu tuh,” kata ibu. Ah, paling juga nunggu yang bawa, bukan yang dibawa, batinku. Aku keluar sambil membawa minum dan makanan dalam toples. Aku gak sempat melihat orangnya. Tapi ketika aku mau masuk kedalam lagi, ayah menyuruhku duduk sebentar. Aku duduk dengan menunduk. Masih deg – degan nih.

“Nif, nak Rian datang untuk melamar kamu. Katanya kamu satu kampus sama nak Rian.” Aku kaget dan mendongak. Ha? Si orang aneh itu? belum selesai ayah bicara, ayah harus keluar karena ada tamu lain datang.

“Ayah keluar dulu nemuin Pak Harno. Kamu ngobrol dulu sama nak Rian. Maaf ya nak, bapak tinggal,” kata ayah.

“Iya, pak.” Ayah dan tamunya duduk di kursi depan. Tinggal aku sama si aneh ini.

“Maaf, ukhti. Saya langsung datang ke rumah.”

“Saya tidak mengerti maksud akhi apa?” ikut – ikutan manggil akhi nih. “Saya tidak butuh rasa belas kasihan akhi. Yang membuat akhi, harus datang melamar saya. Akhi sendiri sudah tau, saya tidak sebaik dugaan semua orang.”

“Saya tidak merasa kasihan sama anti. Saya dulu orang yang selalu merasa kesepian. Saya anak tunggal. Dan kedua orang tua saya sudah meninggal karena kecelakaan. Ketika pulang sampai di rumah, rasanya sangat sunyi. Saya waktu itu benar – benar kesepian. Saya meminta ukhti untuk jadi pendamping hidup saya. Untuk saling mengisi dalam mengarungi perjalanan hidup kita untuk mencari ridho Illahi.”Aku terdiam. “Ukhti tidak perlu menjawab sekarang. Silahkan ukhti Istikharoh terlebih dulu. Saya siap menunggu.”

Akhirnya ayah datang juga. Waktu yang mungkin bagi orang lain cuma beberapa menit, tapi bagiku rasanya berjam – jam.

***

Tiga bulan telah berlalu. Aku sudah menjadi istri dari orang yang dulu selalu kusebut si orang aneh. Singkat memang dari sejak dia melamarku. Setelah dua minggu aku Istikharoh, ternyata aku ditunjukkan Allah untuk mantap dengannya. Teman – teman pada kaget mendengar rencana pernikahanku waktu itu. Dan tentu saja Sawitri yang paling histeris. Mas Rian mundur dari jabatan sebagai ketua SKI, takut tidak terfokus. Jadi Mas Rian hanya berperan di belakang layar. He..he.... sekarang aku manggil dia Mas Rian.

Baru dua hari, aku resmi jadi istrinya. Sekarang aku tinggal bersamanya, dirumahnya. Rumah yang cukup besar. Pantas saja jika dia kesepian di rumah sebesar ini. Dua adikku, ku minta untuk sering berkunjung atau menginap, karena Mas Rian juga tidak keberatan. Biar semakin ramai.

“Dik, tau gak. Sebelum aku ketemu kamu di atap waktu aku mengira kamu mau bunuh diri itu, aku sudah sering merhatiin kamu lho.”

“Huu…ngakunya ikhwan, tapi merhatiin akhwat,” kataku manyun.

“Aku hanya merhatiin kamu lho, dik. Habisnya aku tertarik sama kamu. Kadang kayak anak kecil berlari – lari di koridor kampus. Masih ingat waktu kamu nabrak aku. Itu, tuh. Langsung aku ambil kesempatan biar kamu ikut acara SKI. Habisnya kamu gak pernah mau berdakwah, padahal punya potensi. Punya sesuatu yang bisa bermanfaat buat umat.

Tapi kadang, aku melihat pandangan mata kamu kosong. Ketika kamu bercanda sama teman – temanmu, aku melihat kamu tertawa dengan mata kosong. Seolah – olah kamu tertawa hanya untuk membuat orang di sekitarmu senang. Aku sebetulnya tau kok, kamu kalau menyendiri pasti di atap gedung. Aku melihat kamu seperti mau terbang.

Waktu itu aku sudah mau melamar kamu, dik. Karena takut semakin dosa karena zina hati. Terus terjadi peristiwa itu. Waktu pertama kali aku mengira kamu mau bunuh diri. Aku jadi berpikir dan ingin tau sebenarnya apa yang kamu pikirkan. Lalu kamu cerita soal terjun dari tempat tinggi itu. Bahwa kamu kesepian, karena merasa jika kamu tak ada maka dunia dan kehidupan juga tetap masih terus berputar.

Dik, jika kamu tak ada pasti akan banyak orang yang sedih karena kehilangan kamu. Teman, keluarga dan tentu saja sekarang ada aku. Jika kamu tak ada, pasti akan berpengaruh pada kehidupan banyak orang, terutama aku. Aku pasti akan sangat sedih. Dan bahkan aku tak tau apa yang akan terjadi jika aku kehilangan kamu dengan cara yang dilaknati Allah seperti bunuh diri. Jadi, jangan berpikiran yang seperti itu lagi ya, dik? Aku sangat mencintaimu.” Aku tersenyum menatap Mas Rian.

“Eh, mas. Jadi sebenarnya selama ini mas sudah sering memata – matai aku ya?”

“Iya, dik,” jawabnya sambil tertawa. ”Kalau kamu di atas atap, aku jaga di pintu. Kebetulan aja aku lihat kamu waktu kayak mau terjun bunuh diri. Spontan aku jadi kaget kan?”

“Jadi sebenarnya mas bukan ikhwan tulen ya! Gak menjaga pandangan dan hati tuh! Kok bisa jadi ketua SKI ya?”

“Tapi aku kan jaka tulen, dik. Terus nikah ma kamu kan?” Mas Rian langsung kucubit. Dia mengaduh kesakitan. Wajahku entah merah atau tidak, yang pasti aku malu sekali.

Ya Allah, jangan jadikan hamba dan keluarga hamba termasuk golongan orang – orang yang lupa untuk selalu bersyukur kepada – Mu. Dan tunjukkanlah hamba dan keluarga hamba jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi. Bukan jalan orang - orang yang Engkau laknati. Amin. Amin. Amin. Ya Rabbal alamin.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar